Sebuah Perjalanan: Menemukan, Menerima, dan Mencintai Diri Sendiri

17.36.00


Membutuhkan waktu yang cukup lama ketika menuliskan ini. Memikirkan segala kemungkinan yang akan muncul. Merasa gak pede, takut kalau dijudge ini itu, takut dibilang sok. Karena saya sendiri juga masih harus belajar banyak tentang ini. Pelajaran yang membutuhkan waktu seumur hidup.

Tapi lagi-lagi, tulisan ini sebagai pengingat saya pribadi. Kelak, ketika saya sedang ada di titik terendah lagi, saya bisa baca-baca, dan menemukan kekuatan kembali. Karena sesungguhnya, salah satu kekuatan saya adalah tulisan-tulisan saya terdahulu. Memori-memori bahwa saya bisa sekuat dan semampu itu, membangkitkan semangat saya kembali. Kalau nggak diri sendiri yang menyemangati, siapa lagi? Hehehe.

Perjalanan dimulai sejak saya mengenal tulisan "be yourself" di motto-motto andalan album sekolah dan buku tulis. Yap, saya adalah salah satu diantara anak yang menuliskan motto "be yourself" dan menjadikan itu motto andalan saya ketika ditanya (karena dulu menganggap motto ini keren sekali). Tapi sesungguhnya, kalimat "be yourself" tak semudah pengucapannya.

Pernah saya berusaha menjadi orang lain. Pernah mencoba meniru-niru bagaimana sikapnya maupun gayanya, tanpa mengukur pada kemampuan dan batas pada diri sendiri. Saya juga pernah mencoba untuk menjadi "normal" seperti orang kebanyakan, meski itu "bukan gue banget". Meski hati tidak sreg ketika menjalaninya.

Saat itu, saya masih takut jika harus menunjukkan bagaimana diri saya sesungguhnya. Saya malu mengakui bahwa saya tidak seperti orang kebanyakan. Masih takut mengakui sesuatu hal, yang dimata masyarakat merupakan hal yang "melawan arus". Takut tidak diterima di lingkungan pertemanan maupun masyarakat sekitar.

Cukup lama untuk mengakui pada orang banyak bahwa saya menyukai lagu dangdut koplo, menyukai lagu-lagu lama angkatan orangtua, menyukai lagu-lagu band Indonesia yang mellow,  menyukai baju yang itu-itu aja (alias gak update fashion), menyukai sandal cowok dan crocs daripada flatshoes, menyukai pakai training dan rok daripada jeans, menyukai ransel daripada tas slempang, menyukai makanan nggak pedas, dan menyukai makan di pinggir jalan yang murah meriah (karena ngirit). Hanya orang-orang tertentu yang sudah mengenal saya bertahun-tahun, yang memahami bagaimana kebiasaan saya ini. Karena takut jika selera saya dicap rendahan oleh orang lain.



Saya pernah kecewa dengan kondisi wajah dan tubuh saya, yang gak secantik dan menarik seperti perempuan lainnya. Pernah kecewa dengan banyaknya tahi lalat di tubuh saya. Pernah kecewa dengan bentuk tubuh yang nggak proporsional. Pernah kecewa dengan wajah yang berjerawat dan pori-pori yang besar. Pernah kecewa dengan hidung yang pesek. Pernah kecewa dengan jari tangan yang mbundeg nggak lentik sama sekali. Pernah kecewa dengan lingkaran mata yang hitam. Pernah kecewa dengan bentuk perut dan paha yang begitu besar. Pernah kecewa dan malu dengan apapun yang ada pada diri saya.

Saya juga pernah gak mau mengakui kalau saya suka mengobrol sendiri di jalan. Saya pernah gak mengakui kalau saya suka menulis dan curhat panjang. Saya pernah gak mau mengakui kalau saya memiliki perasaan yang sensitif. Saya pernah gak mau mengakui kalau saya suka jalan-jalan sendirian keliling kota, melipir di sawah, mengamati orang-orang. Saya pernah gak mau mengakui kalau saya anak alay pada jamannya.



Saya pernah minder melihat pencapaian orang lain yang udah melesat jauh dari saya, jalan-jalan keliling kesana kemari. Pernah minder dengan keluarga orang lain yang jauh lebih enak dan berada dari saya. Pernah minder mengapa saya nggak bisa sepintar orang lain. Pernah minder dengan nilai IPK yang dibawah 3.3. Pernah minder dengan status saya yang masih single sampai sekarang, disaat teman saya yang lain sudah menemukan pasangan hidupnya. Pernah minder dengan gaya hidup saya yang terlalu hemat, nggak jor-joran kayak orang lain. Pernah minder dengan pekerjaan saya yang banyak dipandang sebelah mata karena nggak sesuai dengan jurusan yang saya tempuh waktu kuliah dan bayaran yang tidak pasti. Pernah minder dengan keputusan-keputusan yang saya ambil sendiri.

Saya selalu berusaha untuk tampil kuat. Saya berusaha untuk selalu ceria, nggak pernah terlihat sedih. Saya selalu menampilkan sisi baiknya saya saja. Saya gampang nggak enakan sama orang. Selalu mengiyakan apa mau orang, sampai saya melupakan kepentingan saya sendiri. Menolak datangnya sedih. Menolak datangnya marah. Menolak segala emosi yang datang pada diri saya.



Yang saya pikirkan adalah, bagaimana orang lain senang dengan saya. Bagaimana saya harus selalu bahagia dan ceria. Meski saya harus mengorbankan diri saya sendiri. Meski saya harus menyembunyikan jati diri saya sendiri agar diterima.

Sampai pada akhirnya saya mencapai di titik dimana saya benar-benar tidak mengenali diri saya sendiri. Merasa marah pada diri saya sendiri. Merasa "I'm not good enough" setiap hari. Merasa lelah. Pikiran penuh oleh hal-hal negatif. Dan kemudian, saya menyerah.

Saya menyerah untuk selalu kuat. Saya menyerah untuk memikirkan semua pencapaian orang lain yang sudah melesat jauh. Saya menyerah ketika memikirkan bentuk badan, dan apapun yang ada pada tubuh saya. Saya menyerah memikirkan pendapat orang lain.



Proses menemukan dan menerima diri sendiri ini, tanpa saya sadari sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya. Tapi saya mengakui, di umur 22 tahun lah saya mulai menyadari seutuhnya. Setelah banyak belajar ke orang lain, banyak membaca bacaan tentang self-love, dan banyak bertanya pada sendiri.

Saya tidak pernah menyesal ketika harus menjalani itu semua. Harus minder dahulu, harus menjadi orang lain dahulu. Karena jika tidak melalui proses itu, mungkin saya nggak akan pernah mampu menuliskan ini. Nggak akan pernah menemukan, menerima, dan menyayangi diri saya seutuhnya. Sesadar-sadarnya.

Sekarang, -meski masih terus mencoba-, saya sudah tidak terlalu memikirkan pendapat orang lain. Saya berusaha menerima segala pemberian dariNya; bentuk badan dan kemampuan diri. Saya mengakui dan menerima bahwa saya adalah manusia biasa yang tidak sempurna. Manusia yang bisa merasakan emosi, sedih, dan juga duka.

Saya menyadari bahwa setiap orang memiliki proses hidup yang berbeda-beda. Memiliki jalan hidup yang nggak sama antara satu dengan yang lainnya. Semuanya unik. Nggak bisa dibandingkan karena semua ada ceritanya yang berharga masing-masing.

Memilih untuk fokus pada kelebihan, potensi dan kemampuan diri sendiri. Tidak terpuruk pada kelemahan yang ada. Berproses, meski membutuhkan waktu yang sangat panjang.

Tak semua hal bisa saya tuliskan. Tapi setidaknya, ini membuat saya lega. Pengingat bahwa jujur pada diri sendiri itu penting sekali.

Tulisan ini saya jadikan pengingat bahwa saya pernah sebahagia itu, ketika saya bisa menerima segala kelebihan dan kekurangan pada diri seutuhnya. Menjalani hidup dengan penuh kesadaran tanpa penyesalan dan merasa salah pilih, tanpa harus takut dijudge orang lain ketika dirasa "melawan arus". Menyayangi diri sendiri tanpa ada rasa malu, kecewa, dan minder.


Dulu gak pernah sepede ini mau foto gaya gak jelas macam gini. Sekarang mah, bodo amaat. Yang penting bahagia!

"Love yourself first, and you will find happiness."

Cheers!



Warm Regards,



Andhira A. Mudzalifa

You Might Also Like

3 comments

  1. Aku juga adalah satu manusia yang sering dn suka ngomong sendiri di kendaraan 😁 (ketika motoran sendiri)

    BalasHapus
  2. aaaaa tengkyuuu banget loh kak, ini kerennnn bangett

    BalasHapus

Terima kasih telah meninggalkan komentar di blog ini dengan bahasa yang santun, tidak spam, dan tidak mengandung SARA.

Jangan sungkan untuk meninggalkan komentar di blog ini, ya! Saya senang sekali jika teman-teman meninggalkan komentar di tulisan saya ^_^

Mari menyambung silaturahmi dan berkawan :) (saya anaknya nggak nggigit, kok :D)